Selasa, 03 Agustus 2010

Cerpen Tarian bidadari"Oleh Zatu

Tarian Bidadari
(oleh Azizatur Rahma XI Bahasa)

Malam ini begitu sunyi, hanya suara jengkerik yang terdengar. Nampak di kejauhan, seorang menatap langit, entah apa yang sedang ia fikirkan, mungkin hanya sekedar menatap bintang, atau malah sedang mengagungkan penciptaan. Entahlah, malam semakin merangkak, menampakkan kegelapan yang sesungguhnya. Cahaya bulan penuh, menyinari malam ini, tanda bulan purnama. Jilbab biru yang dikenakan ia biarkan tertiup hembusan angin.
Gadis itu masih saja menatap langit, entah sudah berapa lama ia tak melihat tempatnya berpijak. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang laki-laki berwajah tampan dan bertubuh tinggi, kira-kira 172 cm berdiri di belakangnya . ”Masih mau disini?”, tanya lelaki itu.
Fuh, sang gadis yang merasa diajak bicara hanya menghelakan nafas. ”Entahlah Fer, mungkin aku butuh waktu beberapa menit lagi untuk menyadari ini sekali lagi”, ucap si gadis, tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.
”Kamu sudah berdiri dan menatap langit selama 3 jam Fynzhya! Dan setiap aku bertanya, kau hanya menjawab ’entahlah Fer, mungkin aku butuh waktu beberapa menit lagi’, dan kamu tahu Fynzhya, aku Ferdi Rahman tidak suka melihat sahabatku Rara Fynzhya Defthyn hanya berada dalam perenungan yang gak jelas arahnya”, ucapnya. ”Dan satu lagi, berhenti untuk memikirkan hal-hal yang tidak ada gunanya untukmu”, ucapnya sedikit lantang.
”Kamu gak akan ngerti apa yang aku rasakan”, ucap Fynzhya.
Ferdi berjalan beberapa langkah ke depan, kemudian membalik badannya, tepat berlawanan arah dari tempat Fynzhya berdiri. ”Tatap wajahku”, ucapnya, sembari memegang pundak Fynzhya, yang lebih rendah 19 senti darinya. ”Kau masih punya aku yang selalu ada di saat kau butuhkan”, ucap Ferdi.
Kini Fynzhya sedikit menurunkan pandangannya ke bawah. Ia memegang kedua tangan Ferdi yang berada tepat di atas pundaknya.”Kau adalah sahabat terbaik yang aku punya. Kau yang selalu memanggil namaku dengan sebutan Fynzhya, padahal yang lain hanya memanggilku Rara, ya, mungkin Fynzhya terlalu susah diucapkan bagi mereka.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar