Selasa, 03 Agustus 2010

Sambungan "Tarian Bidadari"

”Terlambat lagi?”.
Terdengar suara laki-laki yang tak asing lagi baginya. Fynzhya membalikkan badannya. Nampak seorang laki-laki bertinggi badan kira-kira 167 cm sudah berada di depannya sembari men-dribble bola basket berwarna oranye.
”Apa urusanmu!”, bentak Fynzhya.
”Tak ada, silahkan pergi”, ucap lelaki tersebut.
Kini Fynzhya kembali bersiap untuk berlari menuju kelasnya, namun sayang, kini di depannya sudah ada seorang laki-laki berkumis tebal memakai seragam putih biru dan memegang sebuah tongkat. Satpam!.
***
”Heh kamu!”, Fynzhya terkaget, ia lirik kanan kirinya, sepertinnya memang ia yang di panggil. Ia taruh sapu hijau yang ia pegang tepat di samping meja petugas perpustakaan.
”Saya bu?”, tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri.
”Ia kamu! Siapa lagi!”, ucap seorang guru padanya. Fynzya tahu, guru tersebut guru paling kiler di sekolahnya, kini ia hanya berharap tidak di telan mentah-mentah oleh guru tersebut. Fynzhya berjalan perlahan mendekati guru tersebut.
”Ambil airl, sirlam selurluh bunga yang ada di sekolah!”, ucap guru tersebut, terdengar agak sedikit cacat pada pengucapan ’r’.
Fuh, Fynzhya menghela nafas. ’untung aku tak dimakannya’, ucapnya dalam hati. Fynzhya segera mengambil ember kecil yang berada di belakang perpustakaan, kemudian mengambil beberapa liter air dari pancuran yang berada tepat di samping ember.
Kini ia lirik jam tangan pinknya, tepat pukul 10.00. jika ia hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat pagar, maka ia memerlukan waktu 4 jam mata pelajaran untuk membersihkan perpustakaan dan menyiram bunga satu sekolahan.
Fynzhya mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya. Masih 30 menit lagi hingga anak-anak keluar untuk istirahat pertama, itu berarti ia tak bisa mengharap Ferdi untuk bisa membantunya.
”Ada yang bisa aku bantu?”.
Fynzhya menengok ke sumber suara. Ia tersenyum kemudian mengulurkan tanggan kirinya yang sedang memegang ember. ”Tolong ambilkan air ya Fer”.
Ferdi mengangguk kemudian mencoba membantu Fynzhya untuk mengambil air di kran belakang perpustakaan. ”Ini Fyn”, ucap Ferdi.
”Makasih ya”.
”Kok bisa kena hukum Fyn? Ketahuan manjat pagar ya?”, ledek Ferdi.
”Ya, biasalah, mungkin kali ini keberuntungan tidak berpihak padaku”, ujarnya sambil menyiram bunga pucuk merah yang banyak di temukan di sekolahnya.
”Pasti Rio?!”.
Fynzhya berhenti sejenak. ”Tau dari mana kamu?”, bentak Fynzhya. Entah mengapa ia pasti langsung mengamuk ketika mendengar nama Rio disebut. ”Tak usah sebut nama itu lagi”, ucapnya sebelum Ferdi menjawab pertanyaan yang ia berikan.
Teng...teng.... suara bel berbunyi, beberapa anak bersorak gembira. Namun Fynzhya dan Ferdi masih berkecimpung dalam kediaman mereka.
”Rara!”, teriak seseorang memanggilnya.
Fynzhya menengok kemudian melambaika tanganya, sedangkan Ferdi masih terdiam. ”Ia, ada apa Rizh?”.
”Mau ikut gak?”.
”Kemana?”.
”Kantin”.
”Ia ikut. Tunggu sebentar”, ucap Fynzhya.
”Cepat”.
”Maaf aku duluan Fer, kalau mau nyusul gak papa taruh saja Ember dan gayungnya di sini, nanti biar aku yang naruh di belakang ruang waka. Makasih atas bantuannya, arigatou gozaimasu ”.
Ferdi hanya terdiam, ia mencoba mencerna kata-kata Fynzhya. Sebetulnnya ia sangat bingung dengan kemarahan Fynzhya yang mendadak dan tiba-tiba. Apakah Fynzhya betul-betul marah sama dia, atau pada Rio? Ah entahlah, ia rasa cacing di perut sudah memintanya untuk pergi ke kantin. Ia berlari menuju belakang ruang waka untuk menaruh ember dan gayung kemudian segera berlari menuju kantin yng berada tak jauh dari ruang waka.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 11.00, tanda bahwa Fynzhya harus segera berlari menuju kelas.
”Assalamualaikum”, ucapnya sembari membuka pintu kelas. Tak ada satupun yang menjawab. Ia lihati sekelilingnya kosong!. Kini ia menepuk dahinya. ”Ya ampun! Dasar pelupa! Inikan jam pelajaran TIK”, ujarnya, lalu cepat berlari kearah tangga yang berjarak 2 kelas dari kelasnya. Secepat kilat ia menaiki tangga. Kini ia menyesal, kenapa ia tadi tidak ikut bersama Rizh, Mion, dan Quinta ketika mengajaknya kembali ke kelas. ”Assalamualaikum”, ucapnya sekali lagi. Kini ia buka pintu LAB perlahan, terasa hawa dingin memasuki celah-celah bajunya.
”Ia masuk”, nampak seorang guru laki-laki bertubuh sedikit besar telah berada di dalam ruangan.
Fynzhya melihat kearah sekelilingnya, tak ada satu tempatpun yang kosong.
”Duduk di situ aja mba”, perintah gurunya, sembari menunjuk satu tempat paling belakang sebelah kiri.
Fynzhya segera berlari menuju tempat tersebut. Kemudian duduk. Fuh, ia menghela nafas lega.
”Ehm!”. terdengar suara laki-laki yang berada di sebelahnya. ”Jangan bertanya mau apa aku? Karena aku yang sampai duluan di tempat ini”.
Fynzhya menatap laki-laki itu sinis. ”Aku tak akan berbicara itu padamu Rio!”.
Rio hanya diam tak membalas. Ia hanya melihat layar komputernya yang berwarna biru.
”Ini keluaran terbaru dari google, yaitu google crome bla bla bla.....”.
Sungguh Fynzhya tak bisa menahan kantuknya, ia merasa sangat bosan, karena tentu saja ia orang yang sangat tidak bisa bila bicara tentang internet sedangkan Rio sepertinya tak terlalu memperhatikan apa yang dijelaskan. Ia sibuk mengotak-atik site yang dia buat. Maklum Rio adalah orang yang ahli pada bidang teknologi khususnya internet.
Dua jam mata pelajaran sudah berlalu, kini saatnya Fynzhya untuk ke masjid menunaikai sholat Dzuhur, ia segera berlari, mengejar Rizh, Mion dan Quinta yang sedari tadi sudah pergi. Sekarang ia percepat langkahnya melewati beberapa kelas dan dua ruang guru.
”Allahuakbar Allahuakbar”, terdengar sayu suara adzan berkumandang.
Fynzhya memasuki masjid perlahan. Ia lepas sepatu hitam serta kaos kaki putih yang ia kenakan, kemudian mengambil air wudhu. Fynzhya tak pernah menaruh alat sholatnya, dikarenakan ia sangat jarang membawanya ke sekolah. Ia lebih senang meminjam punya Mion, daripada harus membawa dari rumah.
”Hai kak”, sapa seorang gadis padanya sembari melambaikan tangannya.
Ia lihat gadis itu, tak begitu terkejut. Dara, seorang perempuan berparas tak terlalu cantik, tetapi selalu ramah padanya. Fynzhya pertama kali bertemu dengan Dara saat lomba debat yang diadakan oleh sekolah, dan dara yang termasuk panitia menjadi pemandu saat itu. ”Hai, where is your Ribbon? ”, tanya Fynzhya pada Dara menggunakan bahasa Inggris. Semenjak ia di tunjuk sebagai tentor bahasa Inggris di sekolah untuk mengajar adik kelasnya, Fynzhya harus lebih menggunakan bahasa yang akan membuat sedikit lidah terlilit.
Dara hanya tersenyum. ”Hilang ka”, ucapnya penuh penyesalan.
Fuh, ”Oke, we meet again after school, may be we meet in the canteen! ”.
”Oke kak”.
***
”Datin, can you tell me abaut unforgetable moment? ”, tanya Fynzhya pada Datin, anak muridnya kelas X-4.
“When I met Gara and Sasuke in my dream, I think that is my unforgettable moment ”, ucapnya.
“Ok thank’s, and now you Dessy, yesterday you didn’t story about your favorite object”.
Dessy hanya tersenyum, “Ia ka, saya lupa”. ”My favorite object is comic naruto, and I like sasuke and Itachi so much”.
“Nentor kah?”, tiba-tiba seorang laki-laki sudah berada di sampingnya.
”Ngapain kamu di sini”, tanya Fynzhya pada Rio.
”Ga k papa”.
Kini Fynzhya melanjutkan kegiatannya. Ia sudah tak peduli lagi dengan Rio yang mencoba mendekatinya.
“Can you describe about sasuke and Itachi, and what do you think about sasuke, More handsome than Itachi or…..? ”.
“Dia tuh punya luka di hidungnya, ganteng…..”.
”I’m sorry in English”.
”Maksa ini, kalo dia gak mau ya gak usah”, sela Rio.
Tanpa berkata apapun, Fynzhya berdiri kemudian beranjak pergi.
”Tunggu, jangan pergi”, ucap Rio menahan Fynzhya sembari menahan tangan Fynzhya. ”Jangan pergi”, ucap Rio sekali lagi.
”Kenapa kamu? Nyadar gak sih kamu Rio, kamu! pasti kamu yang ngancurin hidupku. Menghancurkan kegiatanku. Kamu yang bikin aku seperti orang gila yang selalu marah-marah gak jelas, kamu yang mendekati aku, kemudian meninggalkanku tanpa alasan! Nyadar gak sih kamu, kalau kamu deket sama cewek lain aku tuh sakit. Kamu bilang kamu suka sama aku, tapi apa maumu. Kamu bilang aku harus jadi Fynzhya yang dulu dan jangan berubah. Apalagi berubah ke jalan yang ngerusak! Nyadar gak sih, kamu yang bilang kamu gak mau aku atau kamu rusak, tapi apa hal yang sudah kamu lakukan untuk merubah dirimu biar gak rusak! Apa? Tolong jaga sikapmu terhadap cewe lain. Jangan hanya dengan aku kau menghargai seorang wanita. Berhenti menggoda semua perempuan yang berada di dekatmu. Kalau kamu suka sama aku tolong jadi yang terbaik, setidaknya di mataku.
Kamu tahu Rio, aku menyukaimu banyak rintangan dan tantangan, seluruh sahabatku melarang, seluruh sahabatku mencela. Kamu tahu setiap helaan nafas yang terasa hanya sakit, disini”, ungkap Fynzhya sembari memegang dadanya. Tak terasa, linangan air mata jatuh perlahan dari kedua mata Fynzhya. ”Kalau kamu memang masih menginginkan Fynzhya yang dulu, tinggalkan saja aku dan cari Fynzhyamu yang dulu, yang begitu bodoh, dan selalu tertipu dengan kata-kata manismu! Dulu kamu bilang aku bidadarimu, tapi...”, isaknya semakin mengeras dan cengkraman di dadanya semakin menguat. Ia seakan tak peduli dengan semua orang yang melihat adegan itu. ”kata-

Cerpen Tarian bidadari"Oleh Zatu

Tarian Bidadari
(oleh Azizatur Rahma XI Bahasa)

Malam ini begitu sunyi, hanya suara jengkerik yang terdengar. Nampak di kejauhan, seorang menatap langit, entah apa yang sedang ia fikirkan, mungkin hanya sekedar menatap bintang, atau malah sedang mengagungkan penciptaan. Entahlah, malam semakin merangkak, menampakkan kegelapan yang sesungguhnya. Cahaya bulan penuh, menyinari malam ini, tanda bulan purnama. Jilbab biru yang dikenakan ia biarkan tertiup hembusan angin.
Gadis itu masih saja menatap langit, entah sudah berapa lama ia tak melihat tempatnya berpijak. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang laki-laki berwajah tampan dan bertubuh tinggi, kira-kira 172 cm berdiri di belakangnya . ”Masih mau disini?”, tanya lelaki itu.
Fuh, sang gadis yang merasa diajak bicara hanya menghelakan nafas. ”Entahlah Fer, mungkin aku butuh waktu beberapa menit lagi untuk menyadari ini sekali lagi”, ucap si gadis, tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.
”Kamu sudah berdiri dan menatap langit selama 3 jam Fynzhya! Dan setiap aku bertanya, kau hanya menjawab ’entahlah Fer, mungkin aku butuh waktu beberapa menit lagi’, dan kamu tahu Fynzhya, aku Ferdi Rahman tidak suka melihat sahabatku Rara Fynzhya Defthyn hanya berada dalam perenungan yang gak jelas arahnya”, ucapnya. ”Dan satu lagi, berhenti untuk memikirkan hal-hal yang tidak ada gunanya untukmu”, ucapnya sedikit lantang.
”Kamu gak akan ngerti apa yang aku rasakan”, ucap Fynzhya.
Ferdi berjalan beberapa langkah ke depan, kemudian membalik badannya, tepat berlawanan arah dari tempat Fynzhya berdiri. ”Tatap wajahku”, ucapnya, sembari memegang pundak Fynzhya, yang lebih rendah 19 senti darinya. ”Kau masih punya aku yang selalu ada di saat kau butuhkan”, ucap Ferdi.
Kini Fynzhya sedikit menurunkan pandangannya ke bawah. Ia memegang kedua tangan Ferdi yang berada tepat di atas pundaknya.”Kau adalah sahabat terbaik yang aku punya. Kau yang selalu memanggil namaku dengan sebutan Fynzhya, padahal yang lain hanya memanggilku Rara, ya, mungkin Fynzhya terlalu susah diucapkan bagi mereka.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari.
Kamu juga yang selalu menjadi pendengar setiaku, tapi betapa aku tak pernah memperhatikanmu Fer”, ucap Fynzhya, kini matanya betul betul melihat ke arah sepatu kets putih yang membungkus kakinya.
”Mungkin kalau kita sedang berada di penggarapan sinetron, sekarang adalah bagian aku untuk memeluk dirimu, tapi aku tahu kita hidup dalam kehidupan nyata, dan aku yakin kau tak mungkin mau untuk melakukan itu bukan”.
Fynzhya hanya tertawa kecil, kemudian mencoba melepaskan tangan Ferdi dari bahunya. ”Aku bukan perempuan murahan”, ungkapnya sambil tertawa penuh kemenangan. ”Ayo kita pulang”, ucapnya, kemudian menarik tangan Ferdi yang terpaku pada tingkahnya.
Malam semakin larut, dan tanda-tanda datangnya penguasa malam semakin terlihat. Kegelapan yang begitu menguasai sudut-sudut kota, bak melupakan akan datangnya hari esok. Tak tahu kah mereka yang berada di sudut-sudut tersebut bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini kecuali hilangnya kekuasaan tuhan dari mukka bumi.
***
Pagi mulai merangkak, nampak Fynzhya akan memulai perjalanannya pagi ini untuk bertemu dengan satpam sekolahan. Entah untuk yang ke berapa ratus kalinya ia harus kucing-kucingan dengan satpam ketika hendak memanjat pagar sekolahan karena terlambat.
Fynzhya sedikit melirik kearah jam tangan pemberian Ferdi yang selalu melingkar di tangan kirinya, 07.45, serunya dalam hati, dan ini pertanda ia memang harus memanjat pagar sekolah lagi pagi ini.
Kini Fynzhya mulai melihat sekelilingnya, untuk memastikan bahwa tak ada yang melihatnya saat ini. Rok abu-abu yang panjangnya tepat di bawah mata kaki ia angkat hingga lutut. Untungnya ia selalu menyiapkan celana panjan sebelum memakai rok. Tanpa basa-basi lagi, kini ia memanjat pagar sekolahan yang tingginya mencapai 2,5 meter. Ternyata kali ini pemanjatannya berhasil sukses ia yakin tak ada satu orangpun yang melihatnya. Kini Fynzhya kembali memperbaiki roknya, kemudian merapikan jilbabnya sebentar.
Ia lirik kembali jam tangannya, jam 07.50 ’hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk memanjat’, ia tersenyum kemudian membalik badan kemudian bersiap berlari. (Bersambung)

Senin, 02 Agustus 2010

Cerpen "Terbang bersama Dandelion" oleh Zatur

Terbang bersama Dandelion

Oleh:
Azizatur Rahma

KELAS XI-BAHASA

Ia kembali terduduk, menengadah, kemudian berkata dalam hati, ”Dandelion, temani aku”, ujarnya sembari menatap langit.
Suara gesekan tangkai dandelion akibat tiupan angin semakin terdengar. Ia berdiri kemudian menengadahkan tangannya ke atas. Ia ambil beberapa serbuk dandelion yang tertiup angin. ”Suatu saat aku akan terbang bersamamu”, bisiknya, kemudian ia membiarkan angin menerbangkan serbuk itu ke angkasa.
***
Kini ia kembali duduk diantara puluhan orang yang setiap hari ia temui.
”Rizh!” ucap seseorang memanggil namanya.
Ia menoleh kemudian tersenyum,”Ya, ada apa, Din?” tanyanya.
”Kamu sudah baca pengumuman?” tanya Dina padanya.
”Belum, kenapa?” tanya Rizh.
”Hari ini kita gak belajar, soalnya guru mau rapat.” ujar Dina semangat.
”Oya?”, ujar Rizh dingin.
Dina kini menatap Rizh tajam. ”Are you ok , Rizh?” tanya Dina.
“I’m sure”, jawabnya. Kemudian pergi meninggalkan Dina yang masih menatapnya hingga ditelan kejauhan. Dina masih tak berkedip, ia masih memikirkan ada sesuatu yang berbeda dari sahabatnya. Dina sudah paham betul dengan karakter Rizh yang susah ditebak.
Rizh Zaheera Faradita, anak yang cukup populer di sekolah. Ia selalu menjadi juara kelas setiap tahun. Maka tak heran bila banyak laki-laki yang mengejarnya. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak suka dengan cewek berparas cantik, berkulit kuning langsat, dengan tubuh tinggi semampai, berperawakan langsing, beragama kuat dan berprestasi. Akan tetapi Rizh termasuk orang yang menentang keras adanya hubungan yang jauh antara laki-laki dan perempuan. Semua itu terlihat dengan sikapnya yang terkesan sedikit galak jika berbicara pada laki-laki.
***
”Rizh!” Dina menepuk bahunya. Ia tak menoleh sedikpun. Rizh terlihat sangat kalut, dan resah. Ia hanya merenung, matanya tertuju pada sekumpulan anak yang sedang bermain basket, walaupun dalam tatapan kosong.
”Awas!” seseorang memperingatkan Rizh. Tak jauh dari tempat ia duduk, ada sebuah bola basket yang menuju kearahnya. Rizh tak bisa mengelak, ia hanya menunduk dan berharap bola itu tak mengenainya.
”Hup!” Rizh mengangkat kepalanya. Ia melihat seseorang yang memperingatkannya tadi sudah berada di depannya dengan memegang sebuah bola basket yang hampir mengenainya, Ryo Andrian.
”Kamu gak papa?” tanya Ryo penuh cemas.
Rizh hanya menatapnya dingin, namun ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada sedikit letupan yang terjadi di hatinya, ” Ryo ia menolongku ?”
Ryo mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan pada Rizh. Rizh hanya berdiri kemudian berbalik dan beranjak pergi. ”Terima kasih”, ucapnya lirih, tanpa menoleh sedikitpun, hingga Ryo tak mendengar ucapannya tersebut.
Dina yang melihat kejadian itu hanya menatap mata keduanya, ”Ada yang lain dari sorot mata mereka!” ujar Dina dalam hati.
***
”Hiks...hiks....” Suara sesegukan semakin terdengar, entah mengapa Rizh nampak begitu kaku, ia seperti lemah tak berdaya. Ia kini kembali duduk diantara tangkai-tangkai dandelion yang menari tertiup angin.
”Dandelion..., kenapa semua ini harus terjadi, kenapa mimpi itu harus menjadi sebuah kenyataan? Kenapa sekarang aku merasakan itu semua? Aku takut aku tak bisa menjaga prinsipku agar tidak memiliki orang istimewa di hatiku untuk saat ini”, ucapnya lantang dalam hati. ”Aku memang menyukainya tapi aku takut untuk memilikinya.” Rizh kembali menangis.
”Rizh....” Dina menyapanya pelan, ia tahu setiap Rizh gelisah ia pasti menuju tanah kosong di belakang sekolah yang ditumbuhi bunga dandelion.
Rizh mencoba untuk mengusap air mata yang membasahi pipinya. “Ya.” jawabnya.
“Bersabarlah....” ucap Dina sembari tersenyum, kemudian memeluk Rizh.
***
Rizh berlari secepat mungkin, ia takut hari ini ia akan terlambat. Walaupun jarak rumah Rizh hanya satu kilometer dari sekolah, Rizh termasuk orang yang sering terlambat. Namun ia merupakan orang yang memiliki keberuntungan lebih dari teman-temannya yang lain. Semenjak duduk di kelas 1 MAN 2 Samarinda hingga ia naik kelas 2, ia tidak pernah sekalipun tertangkap oleh guru piket saat terlambat.
Ia melirik ke arah jam tangan pink yang hampir setiap hari melingkar di pergelangan tangannya. Jarum pendeknya menunjuk antara angka tujuh dan delapan, sedang jarum panjangnya menunjuk angka tujuh. Ia terus berlari hingga, ”Auw!”, ucap Rizh lantang. Ia merasa ada seseorang yang menabrak dirinya dari belakang. Rizh melihat kearah samping. Ternyata ia melihat seseorang yang sama paniknya seperti dia, Ryo.
”Maaf, ya...!” ujar Ryo, kemudian kembali berlari.
Rizh hanya terdiam, jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasanya. ”Fuh, Ryo lagi.” ungkap Rizh pelan. Namun Rizh tak mau terlalu lama masuk dalam lamunannya. Ia kembali berlari menuju kelas XI-Bahasa yang terletak di sudut kanan sekolah dekat kolam-air mancur.
”Assalamualaikum”, ucap Rizh perlahan, sembari membuka pintu kelasnya dengan cara mendorong daun pintu yang agak seret tersebut. Hal itu Rizh lakukan hampir setiap hari akibat handel pintu yang harusnya terpasang, hilang entah kemana.
Kini mata Rizh mulai mengamati sekililing kelas untuk memeriksa apakah sudah ada guru yang masuk ke kelasnya atau belum. Namun, akhirnya ia lega karena tak mendapati sedikitpun tanda kehadiran guru di kelasnya. Ia segera menuju tempat duduknya yang berada tepat di barisan paling depan. Ia duduk, kemudian menaruh tas ransel warna biru muda yang sedari tadi berada di atas pundaknya. Rizh membuka tas itu perlahan. ”Aaah....” ucap Rizh sedikit lega. Rizh tersadar, ada sesuatu yang menusuk jarinya. Rizh angkat tangannya perlahan, ia lihat beberapa tetes darah keluar dari jempol kanannya.
Dina yang sedari tadi duduk sembari membaca buku di samping Rizh, segera menoleh ke arah Rizh.
”Sssst...”, ujar Rizh, sembari menaruh jari telunjuk kirinya tepat di depan bibirnya. ”Tolong jangan teriak”, ujarnya, ketika menyadari Dina akan berteriak.
”Kenapa Rizh?”, tanya Dina penuh cemas.
”Entahlah”, ucap Rizh sembari mengangkat sesuatu dari tasnya yang ia rasa menyucuknya tadi.
Rizh dan Dina terdiam, keduanya hanya bisa menelan ludah. Rizh mendapati setangkai mawar merah berada di tasnya. Rizh segera mengalihkan pandangannya pada Dina. Dina yang merasa terpojokkan segera membela diri.
”Aku gak tahu, sumpah”, jawabnya sembari mengangkat jari tengah dan telunjuknya, sedangkan yang lainnya dibiarkan tertutup.
”Lalu siapa?” tanya Rizh.
Dina hanya menggeleng. ”Gak mungkin aku kan Rizh? Kamu tahu sendiri aku datang duluan sebelum kamu, sedangkan kamu terlambat. Coba sekarang kamu ingat, siapa orang yang pertama kali kamu temui ketika sampai ke sekolah?”.
Rizh mencoba membuka memorinya, orang yang pertama kali ia temui saat di sekolah rasanya gak ada, karena ia datang terlambat. Atau, Rizh kini mengarahkan pandangannya ke belakang, tepat satu bangku di belakangnya. Ya, orang yang pertama kali ia temui saat di sekolah adalah Ryo.
Dina yang menyadari hal tersebut segera memutar kepala Rizh ke arahnya. ”Tolong ceritakan padaku semuanya.” pinta Dina.
Rizh hanya Diam, kemudian menarik Dina menuju taman dandelion di belakang sekolah. Rizh kemudian memeluk Dina, tanpa tersadar ia mengeluarkan semua yang terjadi selama ini pada Dina.
”Kenapa coba Din, aku bisa bisa bermimpi pacaran sama dia, saat aku tak memiliki perasaan apa pun sama dia? Disaat aku sudah bisa menguatkan tekadku untuk tidak memiliki seorang pacar, di saat aku sudah mendapatkan seorang teman yang satu prinsip denganku, di saat aku bahagia dengan kesendirianku, ia malah datang, membuat hubungan ini berlanjut dan terus berlanjut, tanpa status”. Ssssts...... suara dandelion yang tertiup angin masih terdengar jelas diantara riuhnya suara angin.
”Ku kira ini bisa ada dua kemungkinan, yang pertama adalah bujukan setan, kemudian yang kedua adalah ujian dari Allah”.
”Bukan, aku sadar betul ini godaan setan, gak mungkin sebuah cobaaan. Kenapa coba dia harus terus berikan harapan padaku?”.
”Ya, mungkin bisa terjadi, karena Allah tak mungkin menguji hambanya melebihi batas kemampuan hambanya tersebut. Oleh sebab itu Rizh, kamu harus coba gak usah menunjukkan kalau kamu suka sama dia, mencobalah untuk menjauh darinya Rizh”.
”Kamu tahu Din, semakin dia masuk dalam kehidupanku, semakin aku tersakiti, tapi ketika aku mau menjauh darinya, aku juga tersakiti karena harus membohongi hati”.
”Aku yakin kau membutuhkan pundakku, pakailah jika itu dapat menenangkan hatimu”, ucap Din, sembari menepuk bahu Rizh.

***
Rizh mengambil beberapa buah tisu dari saku bajunya. Kemudian ia menghadap ke arah kaca yang berada di sebelah kanan kantin tempat ia berdiri. Ia usap mulutnya perlahan. ”Ayo”, ujarnya pada Dina, Vira, Fatiya, dan Dafina.
”Sebentar, susu miloku belum habis tahu”, ujar Farah padanya.
Rizh hanya tersenyum melihat ulah Vira yang kelabakan menghabiskan susu milo yang ia pesan tadi.
”Udah, si Vira di tinggal aja, kelamaan nunggunya”, goda Fatiya.
”Nda boleh kayak gitu sama teman sendiri”, bela Dafina sembari menepuk bahu Vira.
”Uhuk..uhuk..”. Bruss... semburan air tiba-tiba keluar dari mulut Vira.
”Aaa...”, teriak Rizh, Dina, Fatiya, dan Dafina serempak.
”Maaf ya Vir”, pinta Dafina. ”Tadi rencananya aku cuma mau main-main, ternyata kekerasan ya”.
”Gak papa”, ujar Vira, kemudian mengulurkan tangannya pada Rizh.”Minta tisunya donk mba !”.
Rizh kemudian merogoh kantongnya, ”Gak ada om, nich tinggal satu”, sembari menunjukkan tisu yang barusan ia gunakan untuk membersihkan sisa makanan di mulutnya. ”Mau?”, ucapnya.
”Jorok !”, ucap Vira, Dina, Fatiya, dan Dafina.
Rizh hanya tertawa kecil. ” Mau gimana lagi, orang memang cuma ada yang ini”.
”Udah, aku beli aja”, ujar Vira. ”Dasar nda modal”, oloknya.
”Eh situ tuch yang gak modal tisu sabiji aja minta”, ujar Rizh sambil tertawa. ”Ayo, cepat kembali ke kelas, kita nich ngerusuhi kantin aja”.
Dina berjalan menuju kelas, diikuti oleh keempat temannya tersebut.
”Fatiya, aku punya foto barunya KHJ loh, banyak banget”, ucap Vira menggebu.
”Mana-mana?”.
”Di Fd”.
.......
Dina yang melihat percakapan itu hanya menoleh sebentar kemudian mengamati Rizh yang dari tadi hanya diam. ”Kamu sakit Rizh ?”, tanya Dina.
”Ia, aku kurang enak badan nich hari ini, aku mau tidur dulu yah, nanti kalau ada guru tolong kasih tau aku ya”, pinta Rizh.
Dina hanya mengangguk. Kemudian melihat kearah Dafina yang sedari tadi sibuk membalas sms. Kini ia betul-betul merasa suntuk dan lebih memilih untuk mengikuti jejak Rizh yang menelungkupkan tangannya di atas meja, kemudian masuk dalam bunga tidur.
”Hai Rizh”.
Rizh mencoba untuk mengangkat kepalanya. Kini ia mendapati Ryo telah duduk di sampingnya. Jantungnya mulai berdebar, ia merasa terbang diatas awan. Sebetulnya ia sangat risih dengan keadaan seperti ini. Selama ini Rizh dikenal sangat menjaga batas dengan lawan jenis
Dina yang tadi hendak tidur kini mengurungkan niatnya. Ia melirik kearah Rizh, kemudian menarik baju Rizh untuk memperingatkan Rizh bahwa ini hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang Rizh Zaheera faradita. Dina kemudian pergi dan meninggalkan Rizh.
”Ada apa Ryo ?”, tanya Rizh cemas.
”Boleh aku pinjam buku PR matematikamu?”
”Boleh”, ucap Rizh sembari mengeluarkan buku PR matematika dari dalam tasnya. ”Ini”.
”Makasih ya”, ucap Ryo, dengan menyungginggkan senyum ramah pada Rizh.
Rizh sudah mulai bisa mengontrol detak jantungnya kembali.
***
”Rizh ikut aku sebentar, yo”, ajak Dina.
”Kemana?”, tanya Rizh.
”Ke taman dandelion”.
Rizh segera mengikuti Dina dari belakang.
”Kamu liat bunga dandelion ini”, ucap Dina sembari memetik setangkai dandelion.
Rizh mengangguk.
”Bunga ini begitu putih bukan Rizh. Bunga ini sama putihnya dengan hatimu saat keluar dari SMP dulu, tak terbesit sedikitpun niatan buruk bukan?”.
”Ia, terus”, sahut Rizh.
”Kamu yang ku tahu dulu adalah orang yang bersih, tanpa pengaruh dari luar, hidup dalam kesenangan walaupun dalam kesendirian”.
Rizh kini mulai mengerti apa yang dimaksud oleh Dina.
”Kamu tahu Rizh, dulu juga aku pernah ngerasain apa yang kamu rasakan, dan aku tahu sekarang. Aku tahu kau merasa senang ketika dekat dengannya, tapi semua itu haram, dan aku gak mau kamu temanku menjadi orang yang tidak mau tahu padahal kau sudah tahu hal itu Rizh”.
”Kenapa kamu biza ngomong kayak gitu, What do you think about me?”.
“Aku hanya mengingatkanmu tentang kejadian di kelas tadi waktu dia duduk di sampingmu tadi”.
“Tenang, aku telah menyadari semua itu”. Tapi mungkin untuk saat ini aku belum bisa menjauhi Ryo.
”Tolong Rizh, jangan biarkan dirimu terbang bersama dandelion, yang hanya selalu terbang terbawa arah angin, tak tahu arah tujuan”, ucap Dina lalu memberikan batang dandelion itu pada Rizh, namun entah mengapa batang dandelion tersebut membesar kemudian terbang tertiup angin, sedangkan Rizh masih bergelantungan di tangkai bawahnya.
”Bangun dari mimpimu Rizh”, teriak Dina.
”Astagfirullah”, Rizh tersadar, bahwa jam telah menunjukkan pukul 06.00 pagi, ia terlambat bangun.
”Kamu mimpi apa sich?”, tanya Dina.
Rizh Hanya tersenyum. Suatu saat aku akan terbang bersamumu lagi Dandelion, ucap Rizh dalam hati.
***