Senin, 02 Agustus 2010

Cerpen "Terbang bersama Dandelion" oleh Zatur

Terbang bersama Dandelion

Oleh:
Azizatur Rahma

KELAS XI-BAHASA

Ia kembali terduduk, menengadah, kemudian berkata dalam hati, ”Dandelion, temani aku”, ujarnya sembari menatap langit.
Suara gesekan tangkai dandelion akibat tiupan angin semakin terdengar. Ia berdiri kemudian menengadahkan tangannya ke atas. Ia ambil beberapa serbuk dandelion yang tertiup angin. ”Suatu saat aku akan terbang bersamamu”, bisiknya, kemudian ia membiarkan angin menerbangkan serbuk itu ke angkasa.
***
Kini ia kembali duduk diantara puluhan orang yang setiap hari ia temui.
”Rizh!” ucap seseorang memanggil namanya.
Ia menoleh kemudian tersenyum,”Ya, ada apa, Din?” tanyanya.
”Kamu sudah baca pengumuman?” tanya Dina padanya.
”Belum, kenapa?” tanya Rizh.
”Hari ini kita gak belajar, soalnya guru mau rapat.” ujar Dina semangat.
”Oya?”, ujar Rizh dingin.
Dina kini menatap Rizh tajam. ”Are you ok , Rizh?” tanya Dina.
“I’m sure”, jawabnya. Kemudian pergi meninggalkan Dina yang masih menatapnya hingga ditelan kejauhan. Dina masih tak berkedip, ia masih memikirkan ada sesuatu yang berbeda dari sahabatnya. Dina sudah paham betul dengan karakter Rizh yang susah ditebak.
Rizh Zaheera Faradita, anak yang cukup populer di sekolah. Ia selalu menjadi juara kelas setiap tahun. Maka tak heran bila banyak laki-laki yang mengejarnya. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak suka dengan cewek berparas cantik, berkulit kuning langsat, dengan tubuh tinggi semampai, berperawakan langsing, beragama kuat dan berprestasi. Akan tetapi Rizh termasuk orang yang menentang keras adanya hubungan yang jauh antara laki-laki dan perempuan. Semua itu terlihat dengan sikapnya yang terkesan sedikit galak jika berbicara pada laki-laki.
***
”Rizh!” Dina menepuk bahunya. Ia tak menoleh sedikpun. Rizh terlihat sangat kalut, dan resah. Ia hanya merenung, matanya tertuju pada sekumpulan anak yang sedang bermain basket, walaupun dalam tatapan kosong.
”Awas!” seseorang memperingatkan Rizh. Tak jauh dari tempat ia duduk, ada sebuah bola basket yang menuju kearahnya. Rizh tak bisa mengelak, ia hanya menunduk dan berharap bola itu tak mengenainya.
”Hup!” Rizh mengangkat kepalanya. Ia melihat seseorang yang memperingatkannya tadi sudah berada di depannya dengan memegang sebuah bola basket yang hampir mengenainya, Ryo Andrian.
”Kamu gak papa?” tanya Ryo penuh cemas.
Rizh hanya menatapnya dingin, namun ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada sedikit letupan yang terjadi di hatinya, ” Ryo ia menolongku ?”
Ryo mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan pada Rizh. Rizh hanya berdiri kemudian berbalik dan beranjak pergi. ”Terima kasih”, ucapnya lirih, tanpa menoleh sedikitpun, hingga Ryo tak mendengar ucapannya tersebut.
Dina yang melihat kejadian itu hanya menatap mata keduanya, ”Ada yang lain dari sorot mata mereka!” ujar Dina dalam hati.
***
”Hiks...hiks....” Suara sesegukan semakin terdengar, entah mengapa Rizh nampak begitu kaku, ia seperti lemah tak berdaya. Ia kini kembali duduk diantara tangkai-tangkai dandelion yang menari tertiup angin.
”Dandelion..., kenapa semua ini harus terjadi, kenapa mimpi itu harus menjadi sebuah kenyataan? Kenapa sekarang aku merasakan itu semua? Aku takut aku tak bisa menjaga prinsipku agar tidak memiliki orang istimewa di hatiku untuk saat ini”, ucapnya lantang dalam hati. ”Aku memang menyukainya tapi aku takut untuk memilikinya.” Rizh kembali menangis.
”Rizh....” Dina menyapanya pelan, ia tahu setiap Rizh gelisah ia pasti menuju tanah kosong di belakang sekolah yang ditumbuhi bunga dandelion.
Rizh mencoba untuk mengusap air mata yang membasahi pipinya. “Ya.” jawabnya.
“Bersabarlah....” ucap Dina sembari tersenyum, kemudian memeluk Rizh.
***
Rizh berlari secepat mungkin, ia takut hari ini ia akan terlambat. Walaupun jarak rumah Rizh hanya satu kilometer dari sekolah, Rizh termasuk orang yang sering terlambat. Namun ia merupakan orang yang memiliki keberuntungan lebih dari teman-temannya yang lain. Semenjak duduk di kelas 1 MAN 2 Samarinda hingga ia naik kelas 2, ia tidak pernah sekalipun tertangkap oleh guru piket saat terlambat.
Ia melirik ke arah jam tangan pink yang hampir setiap hari melingkar di pergelangan tangannya. Jarum pendeknya menunjuk antara angka tujuh dan delapan, sedang jarum panjangnya menunjuk angka tujuh. Ia terus berlari hingga, ”Auw!”, ucap Rizh lantang. Ia merasa ada seseorang yang menabrak dirinya dari belakang. Rizh melihat kearah samping. Ternyata ia melihat seseorang yang sama paniknya seperti dia, Ryo.
”Maaf, ya...!” ujar Ryo, kemudian kembali berlari.
Rizh hanya terdiam, jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasanya. ”Fuh, Ryo lagi.” ungkap Rizh pelan. Namun Rizh tak mau terlalu lama masuk dalam lamunannya. Ia kembali berlari menuju kelas XI-Bahasa yang terletak di sudut kanan sekolah dekat kolam-air mancur.
”Assalamualaikum”, ucap Rizh perlahan, sembari membuka pintu kelasnya dengan cara mendorong daun pintu yang agak seret tersebut. Hal itu Rizh lakukan hampir setiap hari akibat handel pintu yang harusnya terpasang, hilang entah kemana.
Kini mata Rizh mulai mengamati sekililing kelas untuk memeriksa apakah sudah ada guru yang masuk ke kelasnya atau belum. Namun, akhirnya ia lega karena tak mendapati sedikitpun tanda kehadiran guru di kelasnya. Ia segera menuju tempat duduknya yang berada tepat di barisan paling depan. Ia duduk, kemudian menaruh tas ransel warna biru muda yang sedari tadi berada di atas pundaknya. Rizh membuka tas itu perlahan. ”Aaah....” ucap Rizh sedikit lega. Rizh tersadar, ada sesuatu yang menusuk jarinya. Rizh angkat tangannya perlahan, ia lihat beberapa tetes darah keluar dari jempol kanannya.
Dina yang sedari tadi duduk sembari membaca buku di samping Rizh, segera menoleh ke arah Rizh.
”Sssst...”, ujar Rizh, sembari menaruh jari telunjuk kirinya tepat di depan bibirnya. ”Tolong jangan teriak”, ujarnya, ketika menyadari Dina akan berteriak.
”Kenapa Rizh?”, tanya Dina penuh cemas.
”Entahlah”, ucap Rizh sembari mengangkat sesuatu dari tasnya yang ia rasa menyucuknya tadi.
Rizh dan Dina terdiam, keduanya hanya bisa menelan ludah. Rizh mendapati setangkai mawar merah berada di tasnya. Rizh segera mengalihkan pandangannya pada Dina. Dina yang merasa terpojokkan segera membela diri.
”Aku gak tahu, sumpah”, jawabnya sembari mengangkat jari tengah dan telunjuknya, sedangkan yang lainnya dibiarkan tertutup.
”Lalu siapa?” tanya Rizh.
Dina hanya menggeleng. ”Gak mungkin aku kan Rizh? Kamu tahu sendiri aku datang duluan sebelum kamu, sedangkan kamu terlambat. Coba sekarang kamu ingat, siapa orang yang pertama kali kamu temui ketika sampai ke sekolah?”.
Rizh mencoba membuka memorinya, orang yang pertama kali ia temui saat di sekolah rasanya gak ada, karena ia datang terlambat. Atau, Rizh kini mengarahkan pandangannya ke belakang, tepat satu bangku di belakangnya. Ya, orang yang pertama kali ia temui saat di sekolah adalah Ryo.
Dina yang menyadari hal tersebut segera memutar kepala Rizh ke arahnya. ”Tolong ceritakan padaku semuanya.” pinta Dina.
Rizh hanya Diam, kemudian menarik Dina menuju taman dandelion di belakang sekolah. Rizh kemudian memeluk Dina, tanpa tersadar ia mengeluarkan semua yang terjadi selama ini pada Dina.
”Kenapa coba Din, aku bisa bisa bermimpi pacaran sama dia, saat aku tak memiliki perasaan apa pun sama dia? Disaat aku sudah bisa menguatkan tekadku untuk tidak memiliki seorang pacar, di saat aku sudah mendapatkan seorang teman yang satu prinsip denganku, di saat aku bahagia dengan kesendirianku, ia malah datang, membuat hubungan ini berlanjut dan terus berlanjut, tanpa status”. Ssssts...... suara dandelion yang tertiup angin masih terdengar jelas diantara riuhnya suara angin.
”Ku kira ini bisa ada dua kemungkinan, yang pertama adalah bujukan setan, kemudian yang kedua adalah ujian dari Allah”.
”Bukan, aku sadar betul ini godaan setan, gak mungkin sebuah cobaaan. Kenapa coba dia harus terus berikan harapan padaku?”.
”Ya, mungkin bisa terjadi, karena Allah tak mungkin menguji hambanya melebihi batas kemampuan hambanya tersebut. Oleh sebab itu Rizh, kamu harus coba gak usah menunjukkan kalau kamu suka sama dia, mencobalah untuk menjauh darinya Rizh”.
”Kamu tahu Din, semakin dia masuk dalam kehidupanku, semakin aku tersakiti, tapi ketika aku mau menjauh darinya, aku juga tersakiti karena harus membohongi hati”.
”Aku yakin kau membutuhkan pundakku, pakailah jika itu dapat menenangkan hatimu”, ucap Din, sembari menepuk bahu Rizh.

***
Rizh mengambil beberapa buah tisu dari saku bajunya. Kemudian ia menghadap ke arah kaca yang berada di sebelah kanan kantin tempat ia berdiri. Ia usap mulutnya perlahan. ”Ayo”, ujarnya pada Dina, Vira, Fatiya, dan Dafina.
”Sebentar, susu miloku belum habis tahu”, ujar Farah padanya.
Rizh hanya tersenyum melihat ulah Vira yang kelabakan menghabiskan susu milo yang ia pesan tadi.
”Udah, si Vira di tinggal aja, kelamaan nunggunya”, goda Fatiya.
”Nda boleh kayak gitu sama teman sendiri”, bela Dafina sembari menepuk bahu Vira.
”Uhuk..uhuk..”. Bruss... semburan air tiba-tiba keluar dari mulut Vira.
”Aaa...”, teriak Rizh, Dina, Fatiya, dan Dafina serempak.
”Maaf ya Vir”, pinta Dafina. ”Tadi rencananya aku cuma mau main-main, ternyata kekerasan ya”.
”Gak papa”, ujar Vira, kemudian mengulurkan tangannya pada Rizh.”Minta tisunya donk mba !”.
Rizh kemudian merogoh kantongnya, ”Gak ada om, nich tinggal satu”, sembari menunjukkan tisu yang barusan ia gunakan untuk membersihkan sisa makanan di mulutnya. ”Mau?”, ucapnya.
”Jorok !”, ucap Vira, Dina, Fatiya, dan Dafina.
Rizh hanya tertawa kecil. ” Mau gimana lagi, orang memang cuma ada yang ini”.
”Udah, aku beli aja”, ujar Vira. ”Dasar nda modal”, oloknya.
”Eh situ tuch yang gak modal tisu sabiji aja minta”, ujar Rizh sambil tertawa. ”Ayo, cepat kembali ke kelas, kita nich ngerusuhi kantin aja”.
Dina berjalan menuju kelas, diikuti oleh keempat temannya tersebut.
”Fatiya, aku punya foto barunya KHJ loh, banyak banget”, ucap Vira menggebu.
”Mana-mana?”.
”Di Fd”.
.......
Dina yang melihat percakapan itu hanya menoleh sebentar kemudian mengamati Rizh yang dari tadi hanya diam. ”Kamu sakit Rizh ?”, tanya Dina.
”Ia, aku kurang enak badan nich hari ini, aku mau tidur dulu yah, nanti kalau ada guru tolong kasih tau aku ya”, pinta Rizh.
Dina hanya mengangguk. Kemudian melihat kearah Dafina yang sedari tadi sibuk membalas sms. Kini ia betul-betul merasa suntuk dan lebih memilih untuk mengikuti jejak Rizh yang menelungkupkan tangannya di atas meja, kemudian masuk dalam bunga tidur.
”Hai Rizh”.
Rizh mencoba untuk mengangkat kepalanya. Kini ia mendapati Ryo telah duduk di sampingnya. Jantungnya mulai berdebar, ia merasa terbang diatas awan. Sebetulnya ia sangat risih dengan keadaan seperti ini. Selama ini Rizh dikenal sangat menjaga batas dengan lawan jenis
Dina yang tadi hendak tidur kini mengurungkan niatnya. Ia melirik kearah Rizh, kemudian menarik baju Rizh untuk memperingatkan Rizh bahwa ini hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang Rizh Zaheera faradita. Dina kemudian pergi dan meninggalkan Rizh.
”Ada apa Ryo ?”, tanya Rizh cemas.
”Boleh aku pinjam buku PR matematikamu?”
”Boleh”, ucap Rizh sembari mengeluarkan buku PR matematika dari dalam tasnya. ”Ini”.
”Makasih ya”, ucap Ryo, dengan menyungginggkan senyum ramah pada Rizh.
Rizh sudah mulai bisa mengontrol detak jantungnya kembali.
***
”Rizh ikut aku sebentar, yo”, ajak Dina.
”Kemana?”, tanya Rizh.
”Ke taman dandelion”.
Rizh segera mengikuti Dina dari belakang.
”Kamu liat bunga dandelion ini”, ucap Dina sembari memetik setangkai dandelion.
Rizh mengangguk.
”Bunga ini begitu putih bukan Rizh. Bunga ini sama putihnya dengan hatimu saat keluar dari SMP dulu, tak terbesit sedikitpun niatan buruk bukan?”.
”Ia, terus”, sahut Rizh.
”Kamu yang ku tahu dulu adalah orang yang bersih, tanpa pengaruh dari luar, hidup dalam kesenangan walaupun dalam kesendirian”.
Rizh kini mulai mengerti apa yang dimaksud oleh Dina.
”Kamu tahu Rizh, dulu juga aku pernah ngerasain apa yang kamu rasakan, dan aku tahu sekarang. Aku tahu kau merasa senang ketika dekat dengannya, tapi semua itu haram, dan aku gak mau kamu temanku menjadi orang yang tidak mau tahu padahal kau sudah tahu hal itu Rizh”.
”Kenapa kamu biza ngomong kayak gitu, What do you think about me?”.
“Aku hanya mengingatkanmu tentang kejadian di kelas tadi waktu dia duduk di sampingmu tadi”.
“Tenang, aku telah menyadari semua itu”. Tapi mungkin untuk saat ini aku belum bisa menjauhi Ryo.
”Tolong Rizh, jangan biarkan dirimu terbang bersama dandelion, yang hanya selalu terbang terbawa arah angin, tak tahu arah tujuan”, ucap Dina lalu memberikan batang dandelion itu pada Rizh, namun entah mengapa batang dandelion tersebut membesar kemudian terbang tertiup angin, sedangkan Rizh masih bergelantungan di tangkai bawahnya.
”Bangun dari mimpimu Rizh”, teriak Dina.
”Astagfirullah”, Rizh tersadar, bahwa jam telah menunjukkan pukul 06.00 pagi, ia terlambat bangun.
”Kamu mimpi apa sich?”, tanya Dina.
Rizh Hanya tersenyum. Suatu saat aku akan terbang bersamumu lagi Dandelion, ucap Rizh dalam hati.
***

1 komentar:

  1. Langsugn saja..
    ceritanya bagus,,

    tapi bahasanya masih formal,, sehingga unsur ketertarikannya berkurang.. seandainya saja bahasanya lebih indah,, apalagi jika opening cerpennya bahasanya bagus.. pasti pembaca lebih tertarik..

    see my blog :
    http://vannblog.wordpress.com/

    BalasHapus